SOCIAL MEDIA

Tuesday, April 2, 2019

Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Saya pernah bertanya-tanya kepada suara yang tak terdengar, "Mengapa mereka kerap kali bilang saya ini bukan perempuan sejati?" dan dulu saya tak sampai menemukan jawabannya.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Gadis remaja tempramental dengan rambut pendek, celana basket pendek dan kaus oblong, berteriak-teriak ketika bicara dengan kawan sejawatnya, menyukai lelaki yang populer di antara para gadis, tertawa terbahak ketika ada hal yang bahkan sering tidak lucu. Itulah saya, mungkin hingga sekarang masih ada sedikit esensi dari gadis remaja tersebut, dan saya mencintai si gadis.

Dulu saya lebih mencintai diri saya sendiri tanpa berpikir tentang berat badan yang naik. Segalanya terasa lebih mudah diterima karena belum tersentuh dengan kerumitan cara berpikir orang dewasa. Paling tidak, saya bisa bilang masa remaja sepuluh tahun lalu betul-betul menyenangkan.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Musuh besar saya adalah bertambahnya usia, artinya...semakin banyak dikte-dikte yang datang dari mulut orang dewasa sok tahu terkesan ingin membentuk kesempurnaan dari sosok gadis yang sejak awal sudah tak sempurna namun bahagia dengan ketidak sempurnaan tersebut. Banyak perilaku yang tak lagi bisa diterima walau memang hal seperti ini alamiah dan saya mengerti maksudnya baik, namun menjadi tekanan ketika terjadi berulang serta kerap ditemukannya kesalahan di setiap celah.

Saya masih ingat betul kala itu, saya, seorang sepupu dan pacarnya sedang asyik mengobrol di ruang tamu. Topik utamanya adalah berpacaran (saya jomblo dan baru masuk kuliah) lalu berujung kepada si lelaki yang merupakan pacar sepupu berkata "Lo tuh gak bisa kelakuan lo begitu terus, lo tuh cantik, harus kalem kayak perempuan."

Ada juga kawan-kawan lelaki yang kerap berkata "Gimana mau laku kalau kelakuan lo aja kayak begitu!".

Kembali kepada kalimat teratas pada post ini, "Mengapa mereka kerap kali bilang saya ini bukan perempuan sejati?".
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan - Feminisme

Bagaimana cara insan mengukur kewanitaan seseorang? Apakah betul dari cara berprilaku? Apakah dari cara berpakaian yang manis dengan rok dan wajah malu-malu? Apakah harus selalu seperti itu? Apakah ketika saya cenderung tomboy, androgynous, maka saya bukan seorang perempuan? Saya punya payudara, saya punya vagina, saya menstruasi setiap bulan, apakah saya bukan perempuan? Bagaimana kalian bisa menuntut saya untuk menjadi perempuan ketika saya adalah seorang perempuan?
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan - Patriarki

Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di benak. Mengapa perempuan yang lebih sering diminta "lebih"? Bukankah jika kita berbicara dalam ranah agama, Tuhan memandang kita genderless, yang dilihat adalah amal ibadah dan kebaikan yang telah ditebarkan masing-masing individu. Mengapa perempuan terlalu sering diminta sempurna sementara untuk menuju kesempurnaan itu sendiri, usaha perempuan acap kali disulitkan karena jenis kelaminnya. Perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan rumah tangga/kekerasan seksual, namun keadilan tidak selalu berada di pihak mereka. Apa sebenarnya yang terjadi?
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan - Marching

Saya sempat kehilangan percaya diri dan mungkin menjadi salah satu alasan diagnosa depresi yang saya alami saat ini. Sekarang hal itu tak jadi masalah, karena saya menemukan kembali jati diri tanpa harus berubah menjadi sosok yang tidak saya suka. Jati diri tersebut dinaungi oleh feminisme.

Semasa kuliah, ada beberapa jurusan di fakultas saya yang membuka kelas feminisme dalam berbagai perspektif. Feminisme dalam Islam, Feminisme budaya dan saya sempat sekali masuk dalam kelas Gender dalam Hubungan Internasional namun kemudian melepas kelas tersebut karena teman-teman saya tak menyukainya (kalau dipikirkan sekarang rasanya bodoh juga saya ikut-ikutan).
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Tak banyak hal yang  saya tahu tentang feminisme karena dulu saya tak pernah berusaha mencari tahu. Hidup di lingkungan patriarki membentuk pola pikir "Yasudah memang takdir wanita di dapur" saat itu. Saya bahkan belajar masak sejak SMA karena kerap kali diberi tahu bahwa istri yang baik adalah yang pandai memasak/

Feminisme mulai membuka pikiran saya setelah bekerja di kantor. Saya mulai banyak membaca, mulai menyadari peran wanita yang tak sekadar dalam dapur saja tapi juga dalam mencerdaskan bangsa. Buku karya Malala Yousafzai menjadi buku pedoman pertama saya. Memang Ia tak bicara mengenai feminisme secara spesifik, tapi yang telah Ia perjuangkan selama ini membuat saya bahkan jutaan manusia di muka bumi, kagum dan tersentuh.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Suami saya juga berperan penting dalam perjalanan saya menemukan feminisme. Ia adalah sosok feminist lelaki pertama yang saya kagumi, walaupun Ia tak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai seorang feminist. Hal-hal yang secara tak langsung Ia ajarkan adalah bagian dari feminisme. Barulah setelahnya saya berani mendeklarasikan diri sebagai seorang feminist. Ya, saya beruntung menemukan lelaki yang tepat, yang tidak pernah mempertanyakan ke-femininan saya karena Ia memandang saya sama.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Tak mudah melabeli diri dengan pandangan yang kerap kali disalah pahami oleh masyarakat, terutama masyarakat di negeri ini. Akun-akun media sosial bertema feminisme sering kali diserang oleh mereka yang merasa feminisme bukan bagian dari ajaran agamanya. Paham dari barat, kumpulan pezinah, kelompok yang justru menjatauhkan martabat wanita.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Saya paham mereka yang berpikir seperti itu pasti belum mendalami apa itu feminisme. Mabuk akan "kata orang" bukannya berusaha mencari tahu ilmunya sendiri. Sama seperti orang yang menerima berita palsu, mempercayainya lalu menyebarkannya. Kira-kira seperti itu.

Saya pernah menonton salah satu acara ke-agamaan di televisi yang membahas tentang kemuliaan wanita. Tiga orang pemuka agama berjenis kelamin lelaki yang menyebut diri mereka "Ahli" berbicara tentang hak-hak wanita dan bagaimana RUU P-KS (Rancangan Undag-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang diusahakan oleh para aktivis di Indonesia) sebenarnya membawa kebatilan bagi para wanita.

Yang membuat saya mengerutkan dahi adalah, bagaimana mereka....para lelaki patriarki...bisa-bisanya berbicara dengan lantang mengenai hak wanita namun menjatuhkan secara bersamaan? Mereka kerap kali membandingkan "wanita di barat" dengan "wanita di arab" kesannya wanita hanya boleh berkiblat dari salah satunya saja. Mereka berkata wanita di arab begitu dimuliakan sehingga tak ada kasus-kasus yang berhubungan dengan jatuhnya harkat martabat wanita seperti di negara-negara barat. Mereka ini baca atau research terlebih dahulu tidak sih? Mereka nih sudah konsultasi dengan anggota komnas perempuan tidak yah sebelum datang dan melontarkan kalimat-kalimatnya di acara ini?

Saya heran kenapa barat selalu diasosiasikan dengan keburukan padahal jika kita berbicara mengenai keburukan, mengapa tak berkaca pada diri sendiri?

Belum lagi kelompok sesama wanita yang juga menuduh feminisme sebagai dalang keruntuhan harga diri wanita. Saya bingung....bukankah mereka bisa berkumpul begitu juga merupakan jasa dari para feminist? Kalau tidak ada feminisme, mungkin nasib perempuan di Indonesia sama dengan nasib para wanita di negara yang mewajibkan wanita untuk dikurung di rumah dan harus keluar dengan anggota keluarga lelaki serta tidak akan dilayani transaksi jual-belinya di pasar. Untuk referensi, Anda bisa menonton film animasi The Bread Winner.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Berat memang menebar perubahan positif. Semua hal pasti ada pro dan kontranya, namun di sini saya ingin berterima kasih dengan feminisme dan Rasulullah SAW yang secara gamblang mengajarkannya jauh sebelum kita menamainya feminisme. Feminisme telah mengajarkan saya untuk lebih berempati, mengajarkan saya untuk berjuang mempertahankan harga diri serta membantu mereka yang tertindas karena jenis kelaminnya.

Feminisme juga mengajarkan saya untuk semakin mencintai diri sendiri bagaimanapun bentuknya. Menolak hinaan dan pertanyaan dari mereka yang tidak tahu siapa saya. My worth is more than my skin color, my face, my weight and my gender.

Saya seorang feminist, dan feminisme telah menggandeng tangan saya untuk bangga menjadi seorang perempuan. Ayo sama-sama kita perjuangkan kesetaraan!


ps: foto-foto di atas saya ambil ketika saya mengikuti marching "SAHKAN RUU P-KS" pada Desember 2018 lalu.

Love,

Allysa


Post a Comment