SOCIAL MEDIA

Wednesday, April 17, 2019

Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan


 Ada alasan mengapa industri kuliner meningkat pesat dari tahun ke tahun tanpa sedikit pun memberi jeda pada konsumen. Tak sempat menelisik jauh dari hanya sesuap menu, kita sudah dikejutkan lagi dengan sesuap yang lainnya. Membingungkan memang, namun itulah tanda kemajuan pangan di berbagai belahan dunia.


Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan

Modernitas kuliner tidak boleh dihadang karena biar bagaimanapun, hidangan membutuhkan sedikit perubahan untuk meringankan proses pembuatannya serta memudahkan konsumen menemukannya. Tanpa sepercik sentuhan modern, kita tidak mungkin bisa menikmati sepiring nasi biryani di Jakarta. Bagaimana cara mendapatkannya? Bagaimana mendapatkan bumbunya jika tidak ke Negara Timur Tengah. Misalnya? Maka seseorang memutuskan untuk mempelajari cara membuat nasi biryani, mencari substitusi bumbu yang semisal tak mungkin didapatkan di Jakarta, tidak menanak nasinya berjam-jam melainkan membiarkan rice cooker mengambil alih tugasnya.

Sejauh ini modernitas kuliner tidak menjadi soal walau terkadang bisa berlebihan dan sedikit banyak menimbulkan perdebatan menarik di masyarakat. Misalnya saja ketika Chef asal Inggris, Jamie Oliver mengunggah video cara memasak gado-gado ala nya sendiri yang terinspirasi dari gado-gado khas Indonesia di kanal youtubenya. Ribuan netizen yang tentu saja orang Indonesia protes.

“Itu karedok bukan gado-gado. Kalau gado-gado sayurnya diblansir dulu sebentar, kalau sayurannya mentah begitu namanya karedok!” “Kok sausnya pakai selai kacang?” “Ini terlalu fancy untuk gado-gado”

Walau lebih banyak lagi yang mengapresiasi Jamie Oliver karena telah mengenalkan gado-gado kepada dunia. Tidak ada yang salah menurut saya. Ada yang protes karena merasa “ciri khas” gado-gadonya hilang dan kritik semacam ini wajar saja dilontarkan karena sebagai orang Indonesia, pasti ingin sekali kesederhanaan hidangan tersebut direpresentasikan dengan betul. Jamie Oliver pun tidak salah, memasak, mengulik resep adalah hal biasa yang sering dilakukan oleh para koki.

Bagian dari modernitas kuliner yang terpaksa dilakukan karena minim bahan-bahan sehingga harus mencari substitusi terdekat. Kacang tanah pasti mahalnya bukan main di Inggris, mengulek kacang goreng pasti akan memakan waktu dan bisa membuat beberapa orang malas mencoba resepnya karena tidak ‘mudah’. Well tidak semua orang Eropa familiar dengan ulek mengulek yang intens seperti tukang gado-gado di depan kantor.

Memang sih substitusi malahan membuat kita tak benar-benar bisa merasakan ciri khas dari suatu hidangan dan kita yang tidak puas akan mencari jalan untuk menemukan “hidangan asli” nya. Traveling is one of the way and that’s how you understand the culture. Tentu saja tidak semua bisa melakukannya, jadi tidak ada jalan lain selain pasrah dengan semangkuk coto Makassar minim rempah. Atau pada kasus Jamie Oliver ini, gado-gado tanpa sayur blansir. Tiada yang salah sekali lagi, hanya memilih apa yang tersedia.

Masih banyak kasus seperti di atas yang sebetulnya tidak pernah menjadi masalah serius. Rendang diperebutkan Malaysia dan Indonesia? It’s another case, I don’t want to talk about it :D
Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan - Pancakes

Yang mengganggu pikiran saya sebenarnya adalah tren. It’s not always bad, tapi semakin ke sini variasi hidangan ‘trendi’ di Ibukota semakin membingungkan. Bukan karena keunikannya, tapi justru karena kesamaannya.

Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk datang ke salah satu festival kuliner di Jakarta. Antusiasme masyarakat jaman now sangat besar karena acara serta puluhan booth makanan-minuman kekinian yang tersedia. Desserts, cakes, Italian food, traditional food, vegan, vegetarian, meat lovers booth, siapa yang tak tergoda untuk berkunjung barang sebentar? Saya menapakkan kaki di wilayah “manis” dan kecewa mendapati ada beberapa booth yang menjual the same kind of baked goods. Chocolate chip cookies EVERYWHERE!!!!! Saya tersentak. Kemana perginya originalitas?

Tidak masalah sebetulnya, orang-orang jadi punya banyak pilihan dan tentu saja para pemilik berhak menjual kreasi apapun yang mereka sajikan. Menjadi pertanyaan besar setelahnya ketika saya mencoba beberapa dan terkejut akan rasa yang nyaris sama-sama persis. Lebih anehnya lagi banyak pula yang membeli.

Apakah mereka sama seperti saya, tebak-tebak buah manggis. Atau sudah langganan sejak dulu. Atau betul-betul suka. Saya terheran-heran, saya sangat bingung dengan hidangan trendi. Ya saya tahu semua tergantung selera tiap insan dan tak bisa memaksakan pendapat saya, toh saya tak bilang saya benar hanya heran saja. Di tengah lautan modernitas kuliner ternyata ada jamur yang hinggap yaitu orisinalitas yang perlahan menjadi transparan. Mungkin inilah penyebab “trendy food” hanya sekadar lewat dan tak jarang kemudian berakhir dalam hitungan bulan.

Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan

Yang juga sedikit unik dan membingungkan di waktu yang sama adalah makanan bertaburan biskuit lapis, biskuit susu, keju proses parut, kit-kat, nutella, ovomaltine…Camilan-camilan ini sudah enak sedari pabrik dan menambahkannya dalam menu secara berlebihan justru nampak seperti seseorang sedang menutupi kesalahan. Kesalahan rasa yang tak ingin diperbaiki hingga campur-mencampur pun dilakukan, berusaha untuk membuat lidah lupa. Agak mirip dengan saus sambal botolan yang berfungsi untuk membuat makanan tanpa rasa jadi lebih nikmat.

Bagus jika makanan tersebut betul-betul enak dan menonjolkan rasa aslinya dari pada menonjolkan si camilan. “Banana Cream Pudding with Marie Regal” misalnya. Custard vanila yang manis dan gurih (At the same time). Harmonisasi rasio antara krim kocok + custard yang menciptakan “melt-in-your-mouth-kind-of-like-consistency”. Potongan bulat-bulat tebal dari pisang matang sempurna, mengikat erat si custard vanila. Biskuit marie regal? Hanya sekadar menambah tekstur “cakey” dan tak terlalu mengubah rasa si pudding. Itulah yang diinginkan dan sangat disayangkan jika biskuit malah mengambil alih kemudian meruntuhkan rasa. Baiknya sebut saja makan biskuit dengan susu agak kental. Lebih masuk akal.

Bangga dengan inovasi kuliner negeri ini, baik yang mempertahankan ke-Indonesiaannya maupun dengan sedikit-banyak sentuhan asing, it doesn’t matter it’s food, creativity has no limits here. Namun hey para penggiat kuliner, jangan pernah lupakan kualitas! Kualitas tak melulu berarti bahan yang lebih mahal, hiasan yang lebih ciamik. Kualitas bisa dari mengasah kemampuan padu padan rasa. Kurangi menambah yang tak perlu, pelajari bagaimana lidah bereaksi terhadap rasa. Cocok? Tidak? Your tongue never lies!



Love,

Allysa

Post a Comment