SOCIAL MEDIA

Wednesday, April 17, 2019

Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar

Tahun 2010 menjadi waktu bersejarah bagi saya dan keluarga karena kami akhirnya memasang tv kabel hingga menumpang nonton TLC/AFC tak lagi harus berjubel di rumah saudara yang lebih kaya. Dengan paket tv murah, saya dan Ibu mulai ketagihan menonton acara-acara masak baru yang isinya tak lagi Ibu Siska atau Mas Rudy.


“Ganteng banget itu chefnya!” Ujar saya dalam hati saat mata terpaku di hadapan tv 30inch yang dibeli dari hasil uang pernikahan kakak.

Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar - Jamie Oliver

Jamie Oliver the Naked Chef  dan saat itu pula daftar koki favorit saya bertambah. Di luar koki Indonesia saya tentu saja hanya mengenal Gordon Ramsay, well who doesn't? Saya ingat betul kala pertama menonton acara Jamie Oliver, Ia sedang menunjukkan bagaimana caranya memanggang daging kambing. “Orang Indonesia mah jago nih mengolah kambing! Gampang pasti!” Pikir saya.

Malu benar saya dibuatnya ketika Jamie Oliver menunjukkan cara yang luar biasa asing hingga meneror pikiran saya. Daging kambing harus dilumuri berbagai minyak zaitun, rempah, garam dan lada hitam, didiamkan lalu dipanggang sebentar di atas pan panas bersama mentega dan bawang putih lalu dipanggang dalam oven selama beberapa waktu. WOW!!!!!! Selama ini saya hanya tahu kambing disate atau direbus hingga menjadi sop, kesukaan (alm) Bapak. Jadi kambing bisa dibuat kayak steak gitu yah? Norak betul!!!Sudahlah baru punya tv kabel, baru tahu pula cara memanggang kambing. Namun tak apalah, lebih baik belajar sedikit demi sedikit, toh itu niat saya belajar tentang dunia boga.

List koki favorit saya bertambah dan suatu hari tv menayangkan program masak Donna Hay, seorang chef dan pengusaha asal Australia. Donna Hay menyihir saya dengan resep-resep mudahnya. Saya pernah mencoba Frozen Yogurt yang ternyata hanya berupa campuran plain yogurt, frozen mango and banana lalu diblender dan didiamkan semalaman. That bastard was so delicious I made a declaration to eat it till the day I die but that for sure won't happen. Unless I wanna die with diabetes.

Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar - Anna Pavlova


Yang kembali membuat mata saya mengerling bak baju barbie palsu adalah resep Pavlova. What the hell was that? Dengan laptop super besar dan koneksi internet seadanya, saya mulai mencari arti Pavlova. Wikipedia menuliskan bahwa Pavlova adalah hidangan penutup yang namanya diambil dari nama seorang Ballerina asal Russia “Anna Pavlova”. Pavlova merupakan hidangan berbasis telur putih yang dikocok kaku bersama gula, zat asam lalu dipanggang dan dihiasi dengan krim kental/buah.

“Menarik” pikir saya. Ibu yang kebetulan juga tertarik dengan dessert bak marshmallow ini pun mengajak saya untuk berbelanja telur dan mencobanya.

Jika bisa berlebihan, maka saya akan bilang sudah ratusan telur kami pecahkan, kuning dan putih dipisahkan, memanggang namun setelahnya tak sudi memakan. Yeap siapa sudi memakan putih telur setengah gosong yang merata dengan loyang? Ibu dan saya akhirnya menyerah. Ntah apa yang salah karena langkah demi langkah sudah dilakukan.

Delapan tahun kemudian saya memberanikan diri untuk kembali mencoba membuat pavlova setelah puluhan resep saya baca dan pelajari. Pilihan jatuh pada resep Zoebakes, seorang pastry chef dan food instagramer asal Amerika yang gemar memberi resep berikut step by stepnya melalui Instagram Story. What a great way to help amateurs.

Mangkuk stainless steel telah dibersihkan, mixer mengilap tak bercela, bahan-bahan berjajar bak prajurit hendak berperang. It's time!

Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar - Pavlova

Pavlova dipanggang dengan api besar selama setengah jam lalu api perlahan dikecilkan dan biarkan sang putih telur membentuk cangkang baru bertekstur renyah selama 45 menit berikutnya.

Proses membuat Pavlova tak hanya menyita waktu (apalagi kita harus mendiamkannya di oven panas yang sudah dimatikan apinya selama satu jam setelah selesai dipanggang) tapi juga tenaga. Untunglah matahari belum sempat tenggelam setelah Pavlova selesai. Foto yang bagus masih mungkin masih bisa saya dapatkan walau jam terus bergeser.

Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar - Pavlova 2

Pavlova pun terlihat cantik dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari seharusnya. Kesalahannya adalah, saya terlalu besar membentuk lingkaran di atas kertas panggang. Karena putih telur akan melebar dan lebih cepat mengering saat dipanggang. Lesson learned!!!

Krim kental sudah dikocok kaku dengan gula bubuk, dadih lemon berwarna kuning mengilap sudah jadi, buah-buahan segar pun sudah kering setelah dibersihkan. Inilah saatnya menghias!! Tentu saya tak terlalu menyukai kegiatan mempercantik ini, tapi apa bagusnya pavlova raksasa tanpa hiasan?
 
Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar - Pavlova 3

Saya mulai dengan meratakan krim kental di tengah kawah meringue, lalu dadih lemon barulah buah-buahan berupa berries!

Air mata jatuh dari ujung mata. Akhirnya saya bisa membuat hidangan penutup gila ini! Membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari kesalahan dan mengemas tekniknya. Belum lagi alat serta bahan yang tak kalah krusialnya dalam pembuatan Pavlova.

“Krak!”

Belajar tentang Kerapuhan dari Pavlova yang Ambyar

Belum selesai saya berpuas diri, kawah krispi meringue di tengah itu jebol, bak plafon kamar saya yang menyedihkan. Bedanya Pavlova ini masih tetap terlihat menggiurkan dan kamar saya tentu saja tidak secantik ini.

Benar kata Donna Hay, jangan terlalu banyak menghiasi Pavlova mu dengan bahan yang memberatkan. Krim kental kocok plus dadih lemon memang perpaduan roller coaster di lidah dan kilap bintang di mata. Namun jika menumpuknya dengan takaran yang tidak proposional seperti yang saya lakukan, you'll face a disaster.

Ah well, saya masih bertekad untuk mencicipinya.

TBH, saya tahu tekstur meringue tapi tidak pernah betul-betul mencoba Pavlova. Ekspektasi tekstur renyah yang siap membanjiri rongga mulut dengan saliva dari dinding kanan kiri ketika Pavlova menyentuh gigi harus saya telan bulat-bulat begitu merasakan “marshmallowy-texture” instead of crunchiness.

Pavlova bukanlah hidangan yang tepat untuk pasien penderita diabetes karena rasanya betul-betul manis! Krim kental, dadih lemon dan buah-buahan berhasil sedikit memudarkan rasa manis yang membludak.

Ternyata Pavlova mirip dengan torched meringue di atas lemon pie. Awalnya saya sempat berjengit karena merasa seperti sedang memakan telur putih mentah yang tentu saja tidak betul!

Sempat mencari tahu di internet apakah kita bisa mengurangi kadar gula dalam Pavlova dan sayangnya tidak bisa. Mengurangi pemakaian gula dalam Pavlova justru merusak tekstur dan tidak akan menghasilkan meringue yang mengilap.

Yah paling tidak saya sudah mencoba. Saya senang dengan hasilnya walau harus sabar. Saya juga memahami kerapuhan. Tidak ada yang sanggup menahan beban berat sendiri walau nampaknya terasa ringan. Tak menyangka saya akan mempelajarinya dari sepiring Pavlova.


Ps : Untuk resep, silakan klik di sini!


Love,

Allysa

Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan


 Ada alasan mengapa industri kuliner meningkat pesat dari tahun ke tahun tanpa sedikit pun memberi jeda pada konsumen. Tak sempat menelisik jauh dari hanya sesuap menu, kita sudah dikejutkan lagi dengan sesuap yang lainnya. Membingungkan memang, namun itulah tanda kemajuan pangan di berbagai belahan dunia.


Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan

Modernitas kuliner tidak boleh dihadang karena biar bagaimanapun, hidangan membutuhkan sedikit perubahan untuk meringankan proses pembuatannya serta memudahkan konsumen menemukannya. Tanpa sepercik sentuhan modern, kita tidak mungkin bisa menikmati sepiring nasi biryani di Jakarta. Bagaimana cara mendapatkannya? Bagaimana mendapatkan bumbunya jika tidak ke Negara Timur Tengah. Misalnya? Maka seseorang memutuskan untuk mempelajari cara membuat nasi biryani, mencari substitusi bumbu yang semisal tak mungkin didapatkan di Jakarta, tidak menanak nasinya berjam-jam melainkan membiarkan rice cooker mengambil alih tugasnya.

Sejauh ini modernitas kuliner tidak menjadi soal walau terkadang bisa berlebihan dan sedikit banyak menimbulkan perdebatan menarik di masyarakat. Misalnya saja ketika Chef asal Inggris, Jamie Oliver mengunggah video cara memasak gado-gado ala nya sendiri yang terinspirasi dari gado-gado khas Indonesia di kanal youtubenya. Ribuan netizen yang tentu saja orang Indonesia protes.

“Itu karedok bukan gado-gado. Kalau gado-gado sayurnya diblansir dulu sebentar, kalau sayurannya mentah begitu namanya karedok!” “Kok sausnya pakai selai kacang?” “Ini terlalu fancy untuk gado-gado”

Walau lebih banyak lagi yang mengapresiasi Jamie Oliver karena telah mengenalkan gado-gado kepada dunia. Tidak ada yang salah menurut saya. Ada yang protes karena merasa “ciri khas” gado-gadonya hilang dan kritik semacam ini wajar saja dilontarkan karena sebagai orang Indonesia, pasti ingin sekali kesederhanaan hidangan tersebut direpresentasikan dengan betul. Jamie Oliver pun tidak salah, memasak, mengulik resep adalah hal biasa yang sering dilakukan oleh para koki.

Bagian dari modernitas kuliner yang terpaksa dilakukan karena minim bahan-bahan sehingga harus mencari substitusi terdekat. Kacang tanah pasti mahalnya bukan main di Inggris, mengulek kacang goreng pasti akan memakan waktu dan bisa membuat beberapa orang malas mencoba resepnya karena tidak ‘mudah’. Well tidak semua orang Eropa familiar dengan ulek mengulek yang intens seperti tukang gado-gado di depan kantor.

Memang sih substitusi malahan membuat kita tak benar-benar bisa merasakan ciri khas dari suatu hidangan dan kita yang tidak puas akan mencari jalan untuk menemukan “hidangan asli” nya. Traveling is one of the way and that’s how you understand the culture. Tentu saja tidak semua bisa melakukannya, jadi tidak ada jalan lain selain pasrah dengan semangkuk coto Makassar minim rempah. Atau pada kasus Jamie Oliver ini, gado-gado tanpa sayur blansir. Tiada yang salah sekali lagi, hanya memilih apa yang tersedia.

Masih banyak kasus seperti di atas yang sebetulnya tidak pernah menjadi masalah serius. Rendang diperebutkan Malaysia dan Indonesia? It’s another case, I don’t want to talk about it :D
Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan - Pancakes

Yang mengganggu pikiran saya sebenarnya adalah tren. It’s not always bad, tapi semakin ke sini variasi hidangan ‘trendi’ di Ibukota semakin membingungkan. Bukan karena keunikannya, tapi justru karena kesamaannya.

Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk datang ke salah satu festival kuliner di Jakarta. Antusiasme masyarakat jaman now sangat besar karena acara serta puluhan booth makanan-minuman kekinian yang tersedia. Desserts, cakes, Italian food, traditional food, vegan, vegetarian, meat lovers booth, siapa yang tak tergoda untuk berkunjung barang sebentar? Saya menapakkan kaki di wilayah “manis” dan kecewa mendapati ada beberapa booth yang menjual the same kind of baked goods. Chocolate chip cookies EVERYWHERE!!!!! Saya tersentak. Kemana perginya originalitas?

Tidak masalah sebetulnya, orang-orang jadi punya banyak pilihan dan tentu saja para pemilik berhak menjual kreasi apapun yang mereka sajikan. Menjadi pertanyaan besar setelahnya ketika saya mencoba beberapa dan terkejut akan rasa yang nyaris sama-sama persis. Lebih anehnya lagi banyak pula yang membeli.

Apakah mereka sama seperti saya, tebak-tebak buah manggis. Atau sudah langganan sejak dulu. Atau betul-betul suka. Saya terheran-heran, saya sangat bingung dengan hidangan trendi. Ya saya tahu semua tergantung selera tiap insan dan tak bisa memaksakan pendapat saya, toh saya tak bilang saya benar hanya heran saja. Di tengah lautan modernitas kuliner ternyata ada jamur yang hinggap yaitu orisinalitas yang perlahan menjadi transparan. Mungkin inilah penyebab “trendy food” hanya sekadar lewat dan tak jarang kemudian berakhir dalam hitungan bulan.

Campur Mencampur Makanan Tuk Tutupi Kesalahan

Yang juga sedikit unik dan membingungkan di waktu yang sama adalah makanan bertaburan biskuit lapis, biskuit susu, keju proses parut, kit-kat, nutella, ovomaltine…Camilan-camilan ini sudah enak sedari pabrik dan menambahkannya dalam menu secara berlebihan justru nampak seperti seseorang sedang menutupi kesalahan. Kesalahan rasa yang tak ingin diperbaiki hingga campur-mencampur pun dilakukan, berusaha untuk membuat lidah lupa. Agak mirip dengan saus sambal botolan yang berfungsi untuk membuat makanan tanpa rasa jadi lebih nikmat.

Bagus jika makanan tersebut betul-betul enak dan menonjolkan rasa aslinya dari pada menonjolkan si camilan. “Banana Cream Pudding with Marie Regal” misalnya. Custard vanila yang manis dan gurih (At the same time). Harmonisasi rasio antara krim kocok + custard yang menciptakan “melt-in-your-mouth-kind-of-like-consistency”. Potongan bulat-bulat tebal dari pisang matang sempurna, mengikat erat si custard vanila. Biskuit marie regal? Hanya sekadar menambah tekstur “cakey” dan tak terlalu mengubah rasa si pudding. Itulah yang diinginkan dan sangat disayangkan jika biskuit malah mengambil alih kemudian meruntuhkan rasa. Baiknya sebut saja makan biskuit dengan susu agak kental. Lebih masuk akal.

Bangga dengan inovasi kuliner negeri ini, baik yang mempertahankan ke-Indonesiaannya maupun dengan sedikit-banyak sentuhan asing, it doesn’t matter it’s food, creativity has no limits here. Namun hey para penggiat kuliner, jangan pernah lupakan kualitas! Kualitas tak melulu berarti bahan yang lebih mahal, hiasan yang lebih ciamik. Kualitas bisa dari mengasah kemampuan padu padan rasa. Kurangi menambah yang tak perlu, pelajari bagaimana lidah bereaksi terhadap rasa. Cocok? Tidak? Your tongue never lies!



Love,

Allysa
Tuesday, April 2, 2019

Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Saya pernah bertanya-tanya kepada suara yang tak terdengar, "Mengapa mereka kerap kali bilang saya ini bukan perempuan sejati?" dan dulu saya tak sampai menemukan jawabannya.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Gadis remaja tempramental dengan rambut pendek, celana basket pendek dan kaus oblong, berteriak-teriak ketika bicara dengan kawan sejawatnya, menyukai lelaki yang populer di antara para gadis, tertawa terbahak ketika ada hal yang bahkan sering tidak lucu. Itulah saya, mungkin hingga sekarang masih ada sedikit esensi dari gadis remaja tersebut, dan saya mencintai si gadis.

Dulu saya lebih mencintai diri saya sendiri tanpa berpikir tentang berat badan yang naik. Segalanya terasa lebih mudah diterima karena belum tersentuh dengan kerumitan cara berpikir orang dewasa. Paling tidak, saya bisa bilang masa remaja sepuluh tahun lalu betul-betul menyenangkan.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Musuh besar saya adalah bertambahnya usia, artinya...semakin banyak dikte-dikte yang datang dari mulut orang dewasa sok tahu terkesan ingin membentuk kesempurnaan dari sosok gadis yang sejak awal sudah tak sempurna namun bahagia dengan ketidak sempurnaan tersebut. Banyak perilaku yang tak lagi bisa diterima walau memang hal seperti ini alamiah dan saya mengerti maksudnya baik, namun menjadi tekanan ketika terjadi berulang serta kerap ditemukannya kesalahan di setiap celah.

Saya masih ingat betul kala itu, saya, seorang sepupu dan pacarnya sedang asyik mengobrol di ruang tamu. Topik utamanya adalah berpacaran (saya jomblo dan baru masuk kuliah) lalu berujung kepada si lelaki yang merupakan pacar sepupu berkata "Lo tuh gak bisa kelakuan lo begitu terus, lo tuh cantik, harus kalem kayak perempuan."

Ada juga kawan-kawan lelaki yang kerap berkata "Gimana mau laku kalau kelakuan lo aja kayak begitu!".

Kembali kepada kalimat teratas pada post ini, "Mengapa mereka kerap kali bilang saya ini bukan perempuan sejati?".
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan - Feminisme

Bagaimana cara insan mengukur kewanitaan seseorang? Apakah betul dari cara berprilaku? Apakah dari cara berpakaian yang manis dengan rok dan wajah malu-malu? Apakah harus selalu seperti itu? Apakah ketika saya cenderung tomboy, androgynous, maka saya bukan seorang perempuan? Saya punya payudara, saya punya vagina, saya menstruasi setiap bulan, apakah saya bukan perempuan? Bagaimana kalian bisa menuntut saya untuk menjadi perempuan ketika saya adalah seorang perempuan?
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan - Patriarki

Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di benak. Mengapa perempuan yang lebih sering diminta "lebih"? Bukankah jika kita berbicara dalam ranah agama, Tuhan memandang kita genderless, yang dilihat adalah amal ibadah dan kebaikan yang telah ditebarkan masing-masing individu. Mengapa perempuan terlalu sering diminta sempurna sementara untuk menuju kesempurnaan itu sendiri, usaha perempuan acap kali disulitkan karena jenis kelaminnya. Perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan rumah tangga/kekerasan seksual, namun keadilan tidak selalu berada di pihak mereka. Apa sebenarnya yang terjadi?
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan - Marching

Saya sempat kehilangan percaya diri dan mungkin menjadi salah satu alasan diagnosa depresi yang saya alami saat ini. Sekarang hal itu tak jadi masalah, karena saya menemukan kembali jati diri tanpa harus berubah menjadi sosok yang tidak saya suka. Jati diri tersebut dinaungi oleh feminisme.

Semasa kuliah, ada beberapa jurusan di fakultas saya yang membuka kelas feminisme dalam berbagai perspektif. Feminisme dalam Islam, Feminisme budaya dan saya sempat sekali masuk dalam kelas Gender dalam Hubungan Internasional namun kemudian melepas kelas tersebut karena teman-teman saya tak menyukainya (kalau dipikirkan sekarang rasanya bodoh juga saya ikut-ikutan).
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Tak banyak hal yang  saya tahu tentang feminisme karena dulu saya tak pernah berusaha mencari tahu. Hidup di lingkungan patriarki membentuk pola pikir "Yasudah memang takdir wanita di dapur" saat itu. Saya bahkan belajar masak sejak SMA karena kerap kali diberi tahu bahwa istri yang baik adalah yang pandai memasak/

Feminisme mulai membuka pikiran saya setelah bekerja di kantor. Saya mulai banyak membaca, mulai menyadari peran wanita yang tak sekadar dalam dapur saja tapi juga dalam mencerdaskan bangsa. Buku karya Malala Yousafzai menjadi buku pedoman pertama saya. Memang Ia tak bicara mengenai feminisme secara spesifik, tapi yang telah Ia perjuangkan selama ini membuat saya bahkan jutaan manusia di muka bumi, kagum dan tersentuh.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Suami saya juga berperan penting dalam perjalanan saya menemukan feminisme. Ia adalah sosok feminist lelaki pertama yang saya kagumi, walaupun Ia tak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai seorang feminist. Hal-hal yang secara tak langsung Ia ajarkan adalah bagian dari feminisme. Barulah setelahnya saya berani mendeklarasikan diri sebagai seorang feminist. Ya, saya beruntung menemukan lelaki yang tepat, yang tidak pernah mempertanyakan ke-femininan saya karena Ia memandang saya sama.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Tak mudah melabeli diri dengan pandangan yang kerap kali disalah pahami oleh masyarakat, terutama masyarakat di negeri ini. Akun-akun media sosial bertema feminisme sering kali diserang oleh mereka yang merasa feminisme bukan bagian dari ajaran agamanya. Paham dari barat, kumpulan pezinah, kelompok yang justru menjatauhkan martabat wanita.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Saya paham mereka yang berpikir seperti itu pasti belum mendalami apa itu feminisme. Mabuk akan "kata orang" bukannya berusaha mencari tahu ilmunya sendiri. Sama seperti orang yang menerima berita palsu, mempercayainya lalu menyebarkannya. Kira-kira seperti itu.

Saya pernah menonton salah satu acara ke-agamaan di televisi yang membahas tentang kemuliaan wanita. Tiga orang pemuka agama berjenis kelamin lelaki yang menyebut diri mereka "Ahli" berbicara tentang hak-hak wanita dan bagaimana RUU P-KS (Rancangan Undag-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang diusahakan oleh para aktivis di Indonesia) sebenarnya membawa kebatilan bagi para wanita.

Yang membuat saya mengerutkan dahi adalah, bagaimana mereka....para lelaki patriarki...bisa-bisanya berbicara dengan lantang mengenai hak wanita namun menjatuhkan secara bersamaan? Mereka kerap kali membandingkan "wanita di barat" dengan "wanita di arab" kesannya wanita hanya boleh berkiblat dari salah satunya saja. Mereka berkata wanita di arab begitu dimuliakan sehingga tak ada kasus-kasus yang berhubungan dengan jatuhnya harkat martabat wanita seperti di negara-negara barat. Mereka ini baca atau research terlebih dahulu tidak sih? Mereka nih sudah konsultasi dengan anggota komnas perempuan tidak yah sebelum datang dan melontarkan kalimat-kalimatnya di acara ini?

Saya heran kenapa barat selalu diasosiasikan dengan keburukan padahal jika kita berbicara mengenai keburukan, mengapa tak berkaca pada diri sendiri?

Belum lagi kelompok sesama wanita yang juga menuduh feminisme sebagai dalang keruntuhan harga diri wanita. Saya bingung....bukankah mereka bisa berkumpul begitu juga merupakan jasa dari para feminist? Kalau tidak ada feminisme, mungkin nasib perempuan di Indonesia sama dengan nasib para wanita di negara yang mewajibkan wanita untuk dikurung di rumah dan harus keluar dengan anggota keluarga lelaki serta tidak akan dilayani transaksi jual-belinya di pasar. Untuk referensi, Anda bisa menonton film animasi The Bread Winner.
Berlari Berjuang Bersama : Feminisme Menggandeng Tangan

Berat memang menebar perubahan positif. Semua hal pasti ada pro dan kontranya, namun di sini saya ingin berterima kasih dengan feminisme dan Rasulullah SAW yang secara gamblang mengajarkannya jauh sebelum kita menamainya feminisme. Feminisme telah mengajarkan saya untuk lebih berempati, mengajarkan saya untuk berjuang mempertahankan harga diri serta membantu mereka yang tertindas karena jenis kelaminnya.

Feminisme juga mengajarkan saya untuk semakin mencintai diri sendiri bagaimanapun bentuknya. Menolak hinaan dan pertanyaan dari mereka yang tidak tahu siapa saya. My worth is more than my skin color, my face, my weight and my gender.

Saya seorang feminist, dan feminisme telah menggandeng tangan saya untuk bangga menjadi seorang perempuan. Ayo sama-sama kita perjuangkan kesetaraan!


ps: foto-foto di atas saya ambil ketika saya mengikuti marching "SAHKAN RUU P-KS" pada Desember 2018 lalu.

Love,

Allysa