SOCIAL MEDIA

Thursday, April 5, 2018

Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti

Tak sulit mengitari Daerah Istimewa Yogyakarta, baik dengan kendaraan maupun berjalan kaki. Yang kita harapkan adalah tersesat, namun peta Google tak pernah meleset kala mengarahkan. Lain dengan Jakarta dan sekitarnya. Bahkan peta pun berbohong pada mu.

Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti

12 kilometer ditempuh, dari Kaliurang atas sampai Prawirotaman demi mencari kebahagiaan selanjutnya. Kaki dan badan yang masih remuk karena pendakian mengacaukan pikiran kami dan menuntut untuk diistirahatkan.


Jogja selalu panas, namun kau akan takjub ketika datang hari saat Jogja selalu hujan.

Peta elektronik mengarahkan kami untuk masuk kedalam gang kecil penuh gambar pada dinding-dindingnya. Untung saja hari masih terang benderang, jika sudah gelap ku yakin tak mau aku masuk ke gang sempit ini.

Dengan bermodalkan motor pinjaman, kami susuri gang kecil yang ternyata dihempit dengan gedung-gedung hotel dan kafe. Mengingatkan saya pada Kuta di Bali. Ya, tempat ini persis sekali dengan Bali. Apa ini harta karun?

Tak jauh dari hotel yang satunya, kami pun sampai di Greenhost Boutique, tempat kami menginap. Hanya dua malam saja, namun kami sangat bahagia ketika masuk ke dalam dan mendapati salju di tengah sahara.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Greenhost Boutique

Kami hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk check in dan selama prosesnya mereka memberikan segelas air minum dingin dan handuk hangat berbentuk tablet yang harus dicelupkan ke air agar berubah menjadi selembar handuk.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Greenhost

Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Greenhost Rooms

Suasana hotel ini sungguh menenangkan. Tak seperti hotel berbintang pada umumnya, Greenhost Boutique hanya memiliki tiga lantai. Jadi tak banyak orang yang bisa berbondong-bondong menginap dan suasana tenang pun terkontrol.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti

Di tengah lobi terdapat kolam renang yang tak terlalu panjang, dikelilingi dengan tanaman-tanaman hijau non plastik yang semakin menyegarkan mata kami. Selama dua hari menginap, saya hanya pernah melihat satu dua orang berenang. Agaknya biarpun unik, kolam renang di tengah lobi dan restoran bukan ide yang baik bagi perenang intovert macam saya. Saya pun juga memutuskan untuk tidak berenang dari pada harus menerima tatapan manusia yang akan salah mengira saya sebagai paus.

Kami menginap di lantai tiga, lupa tepatnya kamar nomor berapa. Ketika memasuki kamar, wah desainnya sederhana saja. Nuansa kayu dan warna putih mendominasi kamar kami. Harum sereh yang sudah tercium dari lobi sampai lift ternyata semakin kuat di kamar dengan adanya minyak sereh yang tersaji di meja.

Sabun yang tersedia di kamar mandi adalah sabun organik which is bagi saya pecinta organik IT'S HEAVENLY!!!
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti

Hari menjelang sore dan waktu berleha-leha pun telah selesai. Selayaknya turis, kami memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri Prawirotaman dan menjajal yang bisa dijajal. Mungkin secangkir kopi? Mungkin satu sendok es krim?

Dari hotel kami mengambil jalan ke sebelah kiri. Bermodalkan sandal hotel dan pakaian seadanya, kami menikmati jelang senja di gang kecil ini. Bapak-bapak pengayuh becak berkali-kali menawarkan untuk mengantar kami ke Tempo Gelato, namun kami sudah sering mencicipinya, kami ingin yang lain.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Prawirotaman

Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Pasar Prawirotaman
Please mind my face

Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Mural Prawirotaman

Di samping hotel ternyata ada pasar besar. Namanya Pasar Prawirotaman. Esok paginya kami baru bisa menyaksikan betapa ramainya pasar ini. Pedagang tumpah ruang sampai di pinggir jalan.

Di sekitar pasar terdapat dinding-dinding dan pintu toko berhiaskan mural. They're all beautiful, tidak terlihat jorok seperti oret-oretan sembarang di bawah kolong Ibukota. Saya mengangguminya bahkan sempat mengambil beberapa foto. Mural tak hanya ada di situ, tapi ada di mulut gang satunya, jadi kalau mau mencari spot foto, pergilang ke dua mulut gang Prawirotaman.

Menjelang senja, Prawirotaman mulai agak sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, atau memang turis sedang sedikit, saya tidak tahu pasti, yang jelas keheningannya membuat saya tenang. Kami mampir ke kedai kopi kecil seluas 2x3 meter di pinggir jalan bernama Kiosk Coffee.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Kiosk Coffee

Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Kiosk Coffe Prawirotaman

Mereka hanya menyajikan kopi hitam yang diseduh secara manual seharga Rp 15.000. Berhubung saya bukan penggemar kopi hitam, suami lah yang memesan. He liked it, apalagi biji kopinya lokal dan campuran.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Kiosk Coffee Parangtritis


Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Black Coffee

Magrib semakin dekat, kami meneruskan perjalanan kami ke gang Prawirotaman yang satunya. Saya sebenarnya tidak tahu persis apakah dua gang ini sama atau beda namanya tapi yang jelas dua-duanya disebut Prawirotaman.
Menyusuri Prawirotaman Jogja : Hidup Ketika Pagi, Redup Kala Malam Menanti - Move On Cafe

Di gang Prawirotaman yang satunya, kedai-kedai dan penginapan jumlahnya lebih banyak lagi. Semua berjejer rapih, memanggil, menawarkan keunikan tersendiri. Jalanan di sini lebih terang dan menyenangkan. Lebih banyak turis asing berlalu lalang. Ada yang menumpang becak dengan anak-anak kecilnya, ada yang sedang mengantri di atm, ada yang sedang duduk menikmati secangkir kopi, ada yang sedang menenggak bir.

Terasa seperti Bali, minus bau air asin dari lautan.

Begitu menyenangkan menyusuri Prawirotaman pagi, siang, sore maupun malam. Kehidupan lebih terasa saat pagi hingga sore, dan mulai meredup kala malam. Mungkin semakin malam, mereka yang menetap di sini juga butuh ketenangan. Tak apalah, berjalan di daerah ini tetap membekas di benak.


Love,

Allysa

Post a Comment