Sungguh nestapa hidup yang ku berikan untuk mu.
Tiada waktu tanpa api yang kau sulut
Meremukkan daun dan rantik demi nafsu buas mu.
Duhai engkau yang katanya membela,
Tidak ku dengar sedikitpun suara kasih dalam putusan.
Durjana ku terima tiap rona merah di wajah mu menyala.
Aku tak maksud buatmu marah, ku hanya sampaikan sebuah pesan.
Duhai senda gurau yang kini jadi tangis,
Kita lari terbirit-birit karena terguncang di sana sini
Orang tua meraung tanpa tarian, tanpa henti mengorek dan mengais
Anak kecil hilang akal dan tiada kawan menemani.
Duhai perut yang buncit,
Duhai tubuh tinggal kulit,
Sama di mata Tuhan hanya manusia biarkan kau berbeda
Sungguh ngeri aku melihatmu. Ingin ku hempas seluruh udara dalam dada.
Namun sayang duhai kalian,
Bisa apa aku selain termenung melihat rusak benih ku?
Bisa apa aku selain menangis saat tercabut ranting ku?
Bisa apa aku selain pasrah menua dan mati kemudian?
Sungguh tua diriku,
Mungkin saatnya aku menikam jantung
Biarkan semua mati terkatung-katung
Lepas tiada lagi yang telan dengan serakah semua milikku
Aku benci kalian, benci bukan main
Tapi aku ada bukan untuk menyiksa dirimu
Aku ada untuk berikan kebaikan yang kau ingin
Aku kecewa namun marah pun tak mampu
Duhai kita yang dirahmati olehNya
Biar ku tanam remuk redam hati
Tapi jangan kau tuai buah buruknya
Aku mau kau jaga lebih baik kali ini.
July, 24th 2018
Post a Comment