In all my life, in all my 23 years old live, i've been living around so many people with different characters. Some of them became those i called "friends" some of them are my "best friends" and some of them were "people whose path are destined to past mine."
Berteman adalah suatu kewajiban bagi seorang Allysa sedari kecil. Walau dulu saya nggak paham-paham amat sama fungsi 'teman', saya lebih tahunya anak itu mau main sama saya dan saya mau main sama dia. Semua senang semua gembira.
Rata-rata usia pertemanan erat saya dengan beberapa teman memang tidak lama. Bukan berarti berhenti menganggapnya teman, hanya saja memang jalannya sudah tidak berbarengan, kini kami harus menyebrang dan melambaikan tangan sembari sedikit berharap suatu saat akan bertemu lagi (atau malah tidak?).
Salah satu teman terlama saya adalah Esti. Ia tinggal persis di belakang rumah dan usia kami hanya terpaut 25 hari. Bulan Maret, tahun 1994..life's good, eh? Lucunya ibu kami pun berteman baik, mereka mengecek kehamilan bersama, bahkan kami lahir di rumah sakit yang sama. Untuk kasus yang satu ini, jalan saya dan Esti memang lama sejalar. Semoga selalu sejalar hingga tak perlu repot mencari-cari.
Kemudian ketika saya pindah ke Kupang dan masuk TK di usia empat tahun, saya menemukan banyak anak-anak sebaya lainnya. Ada juga tetangga yang usianya sudah belasan tahun, saya sering nempel main sama mereka. Terkadang mereka baik terkadang mereka jahat, mungkin karena saya kecil dan hanya ditemani asisten rumah tangga jadi gampang dibully.
Kembali lagi ke Bekasi, kembali berteman dengan Esti dan menambah teman lain dari rumah maupun sekolah. Waktu itu saya terkenal cengeng dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kemungkinan besar karena usia saya yang masih 5 tahun tapi sudah masuk SD. Masih ingin main, tidak paham harus berbuat apa di sekolah. TK saja cuma satu-dua bulan.
Kemudian saya harus ikut orang tua pindah lagi ke Surabaya. Di kota Pahlawan ini sudah dua kali saya pindah Sekolah Dasar, dan semakin sulit terbuka untuk mencari kawan. Saya ingat waktu kelas 3 SD saya termasuk dalam anak-anak bodoh di kelas. Saya sulit beradaptasi dengan bahasa, saya sulit beradaptasi dengan sifat anak lain, saya tidak mengerti pelajaran sama sekali dan terlambat tahu cara berhitung. Kelas 3 SD adalah neraka bagi saya. Teman-temannya pun tidak semua ramah, mungkin sama-sama masih kecil jadi tidak paham bagaimana cara membantu anak kurus kerempeng berambut panjang yang baru pindah dari Jakarta ini.
Walau bagai neraka, saya akhirnya bisa melalui semua karena dukungan dari guru serta beberapa teman yang akhirnya dekat juga karena ternyata tetanggaan. Ketika saya mulai nyaman dengan keadaan, lagi-lagi keluarga kami harus pindah. Kali ini hanya pindah wilayah, tidak keluar kota.
Di sekolah baru ini temannya tidak terlalu banyak, kalau tidak salah satu kelas hanya 20-25 anak. Guru-gurunya baik sekali, teman-temannya juga. Walau sempat tidak disukai mungkin karena dulu saya tengil, lama-kelamaan saya bisa juga berteman dengan semuanya. Bahkan waktu saya harus kembali ke Jakarta dua tahun kemudian, teman-teman ini banyak yang menangis, merasa kehilangan.
Sejarah pertemanan saya seterusnya sangat menyenangkan. SMP saya punya gang dengan teman-teman super asyik yang bisa kalian bayangkan. Dude i'm one of the coolest! Beranjak SMA teman semakin banyak dari berbagai kalangan, senior, junior, bahkan dari sekolah sebelah. Benar, semakin besar kita semakin mengerti fungsi "berkawan" hingga kita bisa mengenal siapapun dari sana.
Dari semua fase, kuliah adalah fase pertemanan terbaik bagi saya. Jeje, Yuvina, Jojo dan Listina. Kami ber-lima bisa dibilang sama sekali tidak populer. Lima mahasiswa dekil kurang uang yang lebih sering ditemui sedang makan ayam kalasan Mas Ronny di pinggir danau FIB, berkhayal. Kenapa saya bilang mereka adalah yang terbaik? Karena kami jujur satu sama lain. Jika salah satu di antara kami berbuat kesalahan then ready to received some cursed words. Bertengkar, tersinggung, not talking for a long time, but eventually we'll be back together.
Karena mereka saya percaya siapapun bisa dijadikan sahabat, but i was wrong. Semakin dewasa lagi, saya pun menemukan jawaban lain. Bahwasanya tidak semua orang bisa memiliki chemistry untuk melebur dan membentuk persahabatan. Setiap orang memiliki sifat dan tujuan yang berbeda, namun jika memang ditakdirkan...pastilah ada satu dua saraf yang akan mengalirkan chemistry ke satu sama lain. Cocoklah mereka. Namun jika tidak ditakdirkan, kita tidak bisa memaksakan chemistry itu apapun usahanya. Medannya sudah menolak sejak pertama bertemu. Bukan berarti lantas menjadi musuh dan tak mau berteman, hanya tidak bisa diteruskan ke dalam fase persahabatan. Just friends kata orang-orang ^^.
Ada waktu dimana kesedihan melanda. I didn't believe that i'm going thru that phase again. Kecewa terhadap kawan, marah luar biasa, merasa bersalah, merasa tidak baik, merasa bingung dimana letaknya kesalahan saya hingga hubungan kami yang begitu erat harus terpisah seperti ini. Fase semacam ini harusnya sudah tidak perlu dilalui lagi, kan? Orang dewasa biasanya bisa lebih mudah menyelesaikan konflik, apalagi menyangkut kawan. Hmm, mungkin saya belum sepenuhnya jadi orang dewasa.
Saya adalah saya dengan "berdiam" andalan saya. Sebisa mungkin mendewasakan diri dengan diam dan mundur, pergi dari fase ini. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Sudah saatnya saya berjalan lagi untuk bertemu dengan yang jalannya sedang sejalar. Kita tidak bisa memaksakan cinta, berhenti dan pergilah sebentar. Jika takdir semesta mengizinkan, kita akan bertemu (lagi) dengan siapapun yang tak diduga.
Bertemanlah dengan siapapun selama mereka membawa aura positif. Berikan kasih sayang dan cinta terhadap siapapun walau linu rasanya ketika tidak dibalas dengan baik, but that's the best thing we can do sampai selesai sudah fase mencari kawan di bumi. Biar Tuhan yang kelak menentukan kawan mana yang dikumpulkan bersama di surga.
Love,
Allysa
Post a Comment