Ada alasan mengapa industri kuliner meningkat pesat dari tahun ke tahun tanpa sedikit pun memberi jeda pada konsumen. Tak sempat menelisik jauh dari hanya sesuap menu, kita sudah dikejutkan lagi dengan sesuap yang lainnya. Membingungkan memang, namun itulah tanda kemajuan pangan di berbagai belahan dunia.
Modernitas kuliner tidak boleh dihadang karena biar
bagaimanapun, hidangan membutuhkan sedikit perubahan untuk meringankan proses
pembuatannya serta memudahkan konsumen menemukannya. Tanpa sepercik sentuhan
modern, kita tidak mungkin bisa menikmati sepiring nasi biryani di Jakarta. Bagaimana
cara mendapatkannya? Bagaimana mendapatkan bumbunya jika tidak ke Negara Timur
Tengah. Misalnya? Maka seseorang memutuskan untuk mempelajari cara membuat nasi
biryani, mencari substitusi bumbu yang semisal tak mungkin didapatkan di
Jakarta, tidak menanak nasinya berjam-jam melainkan membiarkan rice cooker
mengambil alih tugasnya.
Sejauh ini modernitas kuliner tidak menjadi soal walau terkadang
bisa berlebihan dan sedikit banyak menimbulkan perdebatan menarik di masyarakat.
Misalnya saja ketika Chef asal Inggris, Jamie Oliver mengunggah video cara memasak gado-gado ala nya sendiri yang terinspirasi dari gado-gado khas
Indonesia di kanal youtubenya. Ribuan netizen yang tentu saja orang Indonesia
protes.
“Itu karedok bukan
gado-gado. Kalau gado-gado sayurnya diblansir dulu sebentar, kalau sayurannya
mentah begitu namanya karedok!” “Kok sausnya pakai selai kacang?” “Ini terlalu
fancy untuk gado-gado”
Walau lebih banyak lagi yang mengapresiasi Jamie Oliver
karena telah mengenalkan gado-gado kepada dunia. Tidak ada yang salah menurut
saya. Ada yang protes karena merasa “ciri khas” gado-gadonya hilang dan kritik
semacam ini wajar saja dilontarkan karena sebagai orang Indonesia, pasti ingin
sekali kesederhanaan hidangan tersebut direpresentasikan dengan betul. Jamie
Oliver pun tidak salah, memasak, mengulik resep adalah hal biasa yang sering
dilakukan oleh para koki.
Bagian dari modernitas kuliner yang terpaksa dilakukan
karena minim bahan-bahan sehingga harus mencari substitusi terdekat. Kacang
tanah pasti mahalnya bukan main di Inggris, mengulek kacang goreng pasti akan
memakan waktu dan bisa membuat beberapa orang malas mencoba resepnya karena
tidak ‘mudah’. Well tidak semua orang Eropa familiar dengan ulek mengulek yang
intens seperti tukang gado-gado di depan kantor.
Memang sih substitusi malahan membuat kita tak benar-benar
bisa merasakan ciri khas dari suatu hidangan dan kita yang tidak puas akan
mencari jalan untuk menemukan “hidangan asli” nya. Traveling is one of the way
and that’s how you understand the culture. Tentu saja tidak semua bisa
melakukannya, jadi tidak ada jalan lain selain pasrah dengan semangkuk coto
Makassar minim rempah. Atau pada kasus Jamie Oliver ini, gado-gado tanpa sayur
blansir. Tiada yang salah sekali lagi, hanya memilih apa yang tersedia.
Masih banyak kasus seperti di atas yang sebetulnya tidak
pernah menjadi masalah serius. Rendang diperebutkan Malaysia dan Indonesia?
It’s another case, I don’t want to talk about it :D
Yang mengganggu pikiran saya sebenarnya adalah tren. It’s
not always bad, tapi semakin ke sini variasi hidangan ‘trendi’ di Ibukota
semakin membingungkan. Bukan karena keunikannya, tapi justru karena
kesamaannya.
Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk datang ke
salah satu festival kuliner di Jakarta. Antusiasme masyarakat jaman now sangat
besar karena acara serta puluhan booth makanan-minuman kekinian yang tersedia.
Desserts, cakes, Italian food, traditional food, vegan, vegetarian, meat lovers
booth, siapa yang tak tergoda untuk berkunjung barang sebentar? Saya menapakkan
kaki di wilayah “manis” dan kecewa mendapati ada beberapa booth yang menjual
the same kind of baked goods. Chocolate chip cookies EVERYWHERE!!!!! Saya
tersentak. Kemana perginya originalitas?
Tidak masalah sebetulnya, orang-orang jadi punya banyak
pilihan dan tentu saja para pemilik berhak menjual kreasi apapun yang mereka
sajikan. Menjadi pertanyaan besar setelahnya ketika saya mencoba beberapa dan
terkejut akan rasa yang nyaris sama-sama persis. Lebih anehnya lagi banyak pula
yang membeli.
Apakah mereka sama seperti saya, tebak-tebak buah manggis.
Atau sudah langganan sejak dulu. Atau betul-betul suka. Saya terheran-heran,
saya sangat bingung dengan hidangan trendi. Ya saya tahu semua tergantung
selera tiap insan dan tak bisa memaksakan pendapat saya, toh saya tak bilang
saya benar hanya heran saja. Di tengah lautan modernitas kuliner ternyata ada
jamur yang hinggap yaitu orisinalitas yang perlahan menjadi transparan. Mungkin
inilah penyebab “trendy food” hanya sekadar lewat dan tak jarang kemudian berakhir
dalam hitungan bulan.
Yang juga sedikit unik dan membingungkan di waktu yang sama
adalah makanan bertaburan biskuit lapis, biskuit susu, keju proses parut,
kit-kat, nutella, ovomaltine…Camilan-camilan ini sudah enak sedari pabrik dan
menambahkannya dalam menu secara berlebihan justru nampak seperti seseorang sedang
menutupi kesalahan. Kesalahan rasa yang tak ingin diperbaiki hingga campur-mencampur
pun dilakukan, berusaha untuk membuat lidah lupa. Agak mirip dengan saus sambal
botolan yang berfungsi untuk membuat makanan tanpa rasa jadi lebih nikmat.
Bagus jika makanan tersebut betul-betul enak dan menonjolkan
rasa aslinya dari pada menonjolkan si camilan. “Banana Cream Pudding with Marie
Regal” misalnya. Custard vanila yang manis dan gurih (At the same time). Harmonisasi
rasio antara krim kocok + custard yang menciptakan “melt-in-your-mouth-kind-of-like-consistency”.
Potongan bulat-bulat tebal dari pisang matang sempurna, mengikat erat si
custard vanila. Biskuit marie regal? Hanya sekadar menambah tekstur “cakey” dan
tak terlalu mengubah rasa si pudding. Itulah yang diinginkan dan sangat
disayangkan jika biskuit malah mengambil alih kemudian meruntuhkan rasa.
Baiknya sebut saja makan biskuit dengan susu agak kental. Lebih masuk akal.
Bangga dengan inovasi kuliner negeri ini, baik yang
mempertahankan ke-Indonesiaannya maupun dengan sedikit-banyak sentuhan asing,
it doesn’t matter it’s food, creativity has no limits here. Namun hey para
penggiat kuliner, jangan pernah lupakan kualitas! Kualitas tak melulu berarti
bahan yang lebih mahal, hiasan yang lebih ciamik. Kualitas bisa dari mengasah
kemampuan padu padan rasa. Kurangi menambah yang tak perlu, pelajari bagaimana
lidah bereaksi terhadap rasa. Cocok? Tidak? Your tongue never lies!
Love,
Allysa
Post a Comment