Jika toilet umum bisa berbicara, mungkin ada banyak kritik dan saran yang akan mereka lontarkan kepada manusia secara gamblang. "Hey Ibu-ibu yang baru saja menutup pintu. Kau sungguh tahu kan kalau semestinya kau harus membuang sampah tisu mu di tempat sampah? Bukan di pinggir pipiku begini. Kau pikir kau hebat? Kau Raja? Bahkan Raja saja tahu adab!"
Namun sebaiknya kita tidak usah terlalu jauh sampai harus membayangkan toilet berbicara. Kita bayangkan saja perasaan para pegawai pembersih toilet umum. Mereka harus bangun pagi-pagi untuk bekerja, membersihkan toilet yang sudah mereka bersihkan kemarin. Mereka mengelap setiap inci dudukan toilet. Memastikan tisu toilet terisi dan melipat ujungnya hingga berbentuk segitiga.
Orang berlalu lalang masuk ke dalam toilet. Tanpa senyum, tanpa terima kasih, mereka berlalu. Para pegawai masuk ke dalam kubikel toilet, membersihkan percikan air di lantai. Entah apakah itu air bersih atau bisa jadi air kencing mu. Membuang tisu yang menempel di atas tempat pembuangan pembalut. Keluar, lalu mengelap wastafel yang dipenuhi tetesan sabun tak berperi.
Begitu terus.
Terkadang ada satu dua orang yang tersenyum dan berterima kasih kepada mereka. Senang bukan main, ditambah lagi kalau orang tersebut tidak mengotori toilet.
Beberapa waktu lalu saya harus pergi ke terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta untuk menjemput seorang sanak saudara. Saya, adik ipar, sepupu dan paman saya menunggu di terminal 3 kedatangan internasional. Ada banyak sekali orang pada hari itu. Ohhh ternyata ada rombongan umroh yang akan mendarat sekitar satu jam lagi.
Segelas kecil green tea latte ternyata memprotes kantung kemih dan memaksa saya untuk pergi ke toilet. Hmm, ternyata toiletnya tidak di dalam ruang tunggu kedatangan melainkan di luar. Maka saya dan adik ipar pergi ke sana, mengantri, menunggu giliran buang air.
Ada dua pegawai toilet wanita yang sibuk meninggikan suara kepada para pengguna toilet.
"Ibu jangan cebok di lantai. Cebok di toiletnya yah bu!"
"Ibu anaknya jangan dicebok di lantai dong Bu!"
"Ibu begini caranya pakai toilet. Ibu duduk saja, nanti tinggal cebok pakai selang."
Saya bingung mendengarnya. Betulkah keadaan seruwet itu sampai-sampai toilet umum langsung berubah jadi taman kanak-kanak?
Tak lama salah satu pegawai toilet tersebut berbicara (nampaknya ada yang bertanya kepadanya mengapa Ia begitu galak).
Salah satu artis Ibukota yang pernah memprotes kebersihan toilet terminal 3 Soekarno Hatta (Sumber: Kompasiana.com) |
"Bu, saya galak karena ini tugas saya untuk membersihkan toilet. Ibu lihat ini lantai toilet basah terus karena apa? Karena setiap kali ada saja yang cebok di lantai. Bahkan ada yang pipis di lantai, bilangnya tidak biasa pakai toilet duduk. Kalau saya tidak tegur nanti ada yang lapor kalau toilet terminal 3 internasional jorok."
Ekspresi mba-mba pegawai tersebut tidak bisa saya lupakan. Apalagi beberapa saat kemudian ia izin kepada temannya untuk istirahat lebih dulu karena sudah mulai merasa mual melihat keadaan toilet yang tak kunjung bersih dan tertib.
Tak lama ada ibu-ibu membawa balita yang menyalip antrian. Ia ditegur untuk mengantri tapi dengan santainya ia malah bilang
"Ini anak saya saja kok yang mau ganti pampers." (Dan setelah berhasil menyalip, ia ditegur oleh pegawai toilet karena anaknya diceboki di lantai.)
Setelah saya keluar dari toilet, saya menghampiri salah satu pegawai toilet dan memberinya semangat. Saya tahu betul pasti mereka lelah.
Bekerja memang bukanlah hal yang menyenangkan. Pekerjaan kedua mba-mba tersebut adalah memastikan toilet bersih dan nyaman. Mereka sudah melakukan yang terbaik. Mereka pastilah tidak senang barang sedikit pun ketika pekerjaannya tidak dihargai.
Usia harusnya bukan jadi masalah untuk kita menghargai orang lain, kan? Saya tahu lah mungkin ada orang tua yang tidak terlalu paham untuk memakai toilet duduk. Namun sang pegawai kan sudah memberi tahu caranya. Apalagi kalau orang tua tersebut didampingi oleh anaknya atau susternya atau cucunya. Yang lebih muda pasti bisa membimbing.
Menurut saya, kebersihan adalah salah satu lambang utama majunya suatu negara. Setahun yang lalu saya sempat transit di Changi Airport. Ada banyak toilet di tiap terminal dan semuanya tidak lagi menggunakan air sebagai alat cebok, melainkan menggunakan tisu yang mudah larut hingga bisa dibanjur di dalam toilet.
Changi Airport's Toilet (Sumber: www.stuckattheairport.com) |
Nyaris tidak ada pegawai di dalam toilet. Hanya ada satu dan itu juga tidak setiap saat ada seperti toilet di Indonesia. Mereka percaya bahwa masyarakat sudah tahu bagaimana adab di dalam toilet. Bagaimana harus duduk, bagaimana harus mengambil tisu, bagaimana harus membanjur.
Toiletnya sangat apik sampai-sampai saya melupakan kenyataan bahwa "WADUUUHHH INI MAU BAB GAK ADA AIR KUDU DISLEPET PAKE TISU BOKONG AING!"
Lalu saya jajan di McDonald's Changi Airport. Ketika sedang asyik menyantap burger, saya membaca tulisan di depan gerai McD mengenai Singapura yang sukses menerapkan reduce, reuse, recycle. Ada banyak pohon yang terselamatkan, ada banyak sampah yang sudah didaur ulang, dan kebersihan begitu terjaga karena masyarakatnya peduli akan lingkungan.
Saya sangat kagum dengan Singapura. Tidak mudah menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan. Terserah deh kalau rumahmu kotor berantakan, tapi jangan seenaknya buang sampah di kali, di jalan, di jalan tol saat sedang berkendara, di dalam kereta, atau yang sedang trending, buang sampah di dalam bioskop.
Tidak hanya pada masyarakat menengah, saya juga kerap kali melihat masyarakat kelas atas mengabaikan pentingnya kebersihan lingkungan. Contohnya ketika saya nonton bioskop di PIM, setelah filmnya selesai dan lampu menyala. Saya lihat keseliling,
Masya Allah.....sampah berserakan. Saya lihat dan pastikan orang-orang tersebut nampaknya kelas atas dengan pakaian bermerk mereka. Namun sayang hatinya jatuuuuhh di dasar lubang.
Masyarakat kita ini masih sangat terpatri di batin masing-masing bahwa "Ah gue bayar, gue berhak begini. Ini kan kerjaan lu tukang bersih-bersih, lu dibayar buat bekerja!"
Dengan sombongnya kebanyakan dari kita mengecilkan orang lain. Merasa jauh lebih baik dari orang lain. Sampai akhirnya perlahan bukannya maju, kita malah semakin mundur di antara negara lain.
Kita berbicara dulu dari hal kecil. Membuang sampah pada tempatnya, atau kalau sedang tidak ada tempat sampah, simpanlah dulu di tas atau pegang terlebih dulu. Baru dibuang ketika sudah ada tempat sampah.
Kamu sibuk membuang sampah sembarangan, lalu banjir, lalu mulut mu yang mengesalkan itu menyalahkan pemerintah. Bukannya introspeksi diri.
Negeri ini masih harus belajar selangkah demi selangkah. Belajar hargai lingkunganmu, hargai alam, hargai sesama manusia. Jangan sibuk saja mempercayai kedatangan suatu paham yang katanya sedang ada dimana-mana bersiap membasmi kita.
Hargai saja dulu lingkunganmu, Bung. Bukannya kebersihan itu sebagian dari iman?
Love,
Allysa
Post a Comment